Rabu, 04 Agustus 2010

Menjelang Peringatan Kartini Oleh Mega Vristian

Menjelang Peringatan Kartini
Share
Menjelang Peringatan Kartini
Mega Vristian

kutulis baris-baris sederhana ini
bertintakan hitam duka perempuan pekerja migran
tak tertakar bilangan hitung dagang

dinar, dolar dan ringgit
bisa kau hitung di kolom debit kredit
martabat dan nyawa adakah kolomnya?

atau di mana kau golongkan
darah dan airmata
serta kehormatan perempuan?

--ataukah kami
yang perempuan ini
kau anggap hewan mudah diperdagangkan?

kutulis baris-baris sederhana ini
bagai epitaf nisan pekerja migran yang terbunuh
benar salah tersimpan di pembukuan rahasia

seperti yang lain kulihat kau mencibir
nyawa dan martabat kami kau cerca jika disingkap

baris-baris ini kutulis bertintakan duka perempuan pekerja migran
di kepung ancaman ajal

seperti yang lain tak ambil perduli
di hadapan secangkir kopi kau asyik menghitung laba
ketika kami berhitung dengan duka dan maut!

partai-partai sibuk mengatur strategi menang
para pejabat terlalu repot mengatur merebut saat untuk korupsi
maka siapa katakan negeri dan republik ini negeri demokratis
maka siapa katakan negeri dan republik ini adil pencinta ham?

ketiadaan adalah bangsa, tanahair dan negara kami
di mana kami mulai menghitung menghargai diri
sepakat bersatu dan bertekad melawan ketidak adilan

(Hong Kong, Causway bay)

-------------------
On the Eve of Kartini Day
Mega Vristian

I write these simply lines
black inked of migrant working women’s sadness
impossible to count in terms of commercial calculation

dinar, dollar and ringgit
You may count in debit credit column
Dignity and life is the column

or in which you classify
blood and tears
and the honor of women?
-- or we these women
You assume animals easily to sell and buy

I write these simply lines
as if epithapal of murdered migrant workers
right or wrong is kept in a cofindential account
Like the others you pout I see
Our life and dignity you scorn whenever they are unveiled

I write these lines black inked of migrant working women’s sadness
trapped in the threatening of death
Like the others do not care
With a cup o coffee you deep in calculating profit

When we calculate sadness and death
The parties are busy to develop strategies to win
The government officer are too busy to arrange
taking chances to steal

then who says this country and republic is democratic
then who says this country and republic is just,
basic human rights lover?

Nothingness is our nation, land and state
where we begin to count esteeming self
saw eye to eye allied and set teeth against injustice
(Hong Kong, Causway bay)

First translated by: Sakban Rosidi

Cerita dari Sahabat Facebookku Mega Vristian di Hongkong

Di Mong Kok Derita itu Bermula
Share
Di Mong Kok Derita itu Bermula

Perempuan itu tiba-tiba terdiam. Tapi aku berharap dia masih mau meneruskan ceritanya. Berkali-kali jemarinya merapikan helai-helai rambut yang menyembul dari jilbab hitamnya. Mukanya pucat. Mungkin karena kurang tidur.

Kuletakkan kembali alat perekam di hadapannya. Sekilas dia memandangnya. Duka membayang di wajahnya. Bibir keringnya kemudian bergerak, melanjutkan kisahnya.

"Aku sempat berpikir dia bukan manusia. Ia tidak punya hati. Masak tega menjualku!" ucapnya geram. Tangannya meninju bangku panjang yang kami duduki. Kupeluk bahunya untuk sekadar meredam emosinya. Air matanya menderas. Dia terisak pelan, nyaris tak terdengar.

"Lelaki itu tiba-tiba menindih dan memperkosaku. Aku berusaha memberontak dan melawan. Tapi dia begitu kuat. Semakin aku berontak, dia kian bergairah. Dia itu binatang!"

Kupeluk tubuhnya. Aku tak tega melihatnya begitu sedih.

"Istirahatlah!" kataku. "Tak usah bercerita lagi. Besok saja. Jika pikiranmu sudah tenang, kita lanjutkan lagi," ujarku.

"Dia itu gila!" lanjutnya. "Gila! Dia bukan manusia! Tapi iblis!"

Pecah sudah isaknya menjadi tangis. Suara tangis itu menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di dekat kami. Tapi dia tak peduli.

Untuk beberapa saat kubiarkan tangisnya keluar. Satu bungkus tisu segera berpindah ke tempat sampah setelah berubah menjadi kepalan-kepalan bola kertas yang meresap air matanya.

***
Aku mengenal perempuan itu saat membeli gelang giok mainan di Jade Market, Hong Kong. Saat itu dia duduk sendirian, menangis di sebuah bangku taman di depan Temple Jordan. Tempat itu menghadap gedung Henry G Leung Yau Ma Tei Community Center. Merasa sesama dari Indonesia, aku beranikan diri menyapanya. Dari situ aku mulai mengetahui penderitaannya.

Panggil saja Suniarti, bukan nama sesungguhnya. Ia berumur 28 tahun. Berasal dari Grobogan, Jawa Tengah. Seperti cerita kebanyakan perempuan dari tanah air, Suniarti terpaksa merantau ke Hong Kong karena tekanan ekonomi. Suaminya yang buruh tani tak mampu menopang seluruh kebutuhan keluarga. Apalagi si Upik, permata hatinya, sudah waktunya masuk sekolah. Sudah tentu, sebagai orang tua yang baik Suniarti harus menyiapkan tabungan demi kelangsungan sekolah Upik.

Pergilah Suniarti ke Hong Kong. Di Hong Kong ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sehari-hari Suniarti mengasuh lima anak majikan yang masih kecil dan mengurus empat orang dewasa. Baru empat bulan bekerja, dia terpaksa melarikan diri dari rumah majikannya. Dia tak tahan perlakuan kasar kekek majikannya. Si kakek ringan tangan, gemar menganiaya Suniarti. Setiap kali salah satu dari empat anak yang diasuh Suniati ribut atau menangis, kakek itu langsung menempelengnya.

Suniarti berusaha menjelaskan kepada kakek itu bahwa jika cucunya menangis, bukan karena dimarahi atau dipukulnya. Tapi sia-sia saja. Sang kakek tak pernah mempercayainya. Dia malah marah dan kemudian memukulnya.

Suniarti berusaha bersabar, berharap bisa menyelesaikan kontraknya hingga dua tahun. Tapi suatu hari, si kakek membabi buta dan menampari Suniarti. Perempuan ini pun tak tahan dan akhirnya nekat meninggalkan rumah majikan.

Selama kasus penganiayaannya ditangani Departemen Perburuhan Hong Kong, Suniarti tinggal di shelter buruh migran Indonesia di Jordan. Karena banyaknya kasus yang ditangani oleh Departemen Perburuhan, kasus Suniarti harus antre, sehingga punya waktu jalan-jalan menikmati keindahan Hong Kong. Maklum, selama empat bulan bekerja dia tak sehari pun mendapat kesempatan libur. Dengan senang hati dia menerima ajakan dua rekan penghuni shelter untuk jalan-jalan ke Kowloon Park.

Keasyikan menikmati keindahan Kowloon Park membuatnya terpisah dari dua rekannya. Sialnya dua kawan itu tak mempunyai telepon genggam. Suniarti pun tak bisa menghubungi mereka. Saat tersesat, dia bertemu seorang perempuan asal Indonesia. Perempuan berambut lurus panjang dengan dandanan menor dan "gaul" itu tampak ramah dan baik. Setelah berbincang sebentar, perempuan itu membelikannya sebungkus nasi untuk makan siang, kemudian mengajak Suniarti main ke rumah kontrakannya. Si Cantik itu bercerita bahwa dia memiliki building house yang disewakan saat dia berlibur. Suniarti menyebut si Cantik karena tak pernah tahu nama perempuan itu.

"Main yuk, ke tempat kontrakanku," kata si Cantik. "Bisa istirahat di sana, daripada di sini digigitin nyamuk."

Dengan gembira Suniarti menerima ajakan itu. Mereka menuju rumah itu naik taksi. Di sebuah rumah besar bercat putih dia diajak masuk ke sebuah kamar yang serba putih, termasuk seprei dan selimutnya.

Si Cantik menyuguhinya minuman kaleng yang tutupnya sudah dibuka. Perempuan yang baru dikenal itu kemudian pamit membeli makanan ringan. Suniarti disuruh beristirahat di kamar serba putih itu. Suniarti segera berbaring di ranjang karena tiba-tiba saja kepalanya terasa berat. Dia teramat pusing dan mengantuk. Belakangan baru disadarinya minuman kaleng itu telah dicampur obat tidur.

Suniarti terlelap. Ia tidak ingat apa-apa. Tiba-tiba nafasnya sesak, tubuhnya seperti tertindih barang berat. Dengan berat Suniarti berusaha membuka kelopak matanya. Betapa kaget dia. Seorang lelaki besar keturunan Pakistan menindihnya. Suniarti tak tahu dari mana datangnya lelaki itu dan bagaimana masuk ke kamar itu.

Sekuat tenaga Suniarti mendorong lelaki itu dari atas tubuhnya. Tapi sia-sia saja. Cakaran dan amarah Suniarti malah melecut gejolak si laki-laki misterius itu.

Lelaki itu rupanya tak puas mengoyak tubuh Suniarti di atas ranjang. Ia menyeret Suniarti ke kamar mandi. Suniarti terus berontak hingga kepalanya berulang kali terbentur dinding kamar mandi. Laki-laki itu tak peduli. Dengan brutal lelaki itu menelanjangi Suniarti, kemudian menyemprotnya dengan shower, lalu menyetubuhinya. Ia lakukan perbuatan itu dua kali.

Setelah puas, lelaki itu mandi dan berdandan rapi. Sebelum ngacir, ia mengambil tas dan menguras seluruh uang di dompet Suniarti yang hanya HK$ 300. Lelaki itu juga menyikat telepon genggam Suniarti.

Si Cantik yang pamit untuk membeli makanan ringan sebentar tak juga kembali hingga sore. Suniarti tidak bisa berjalan. Vaginanya terasa sangat perih. Ia keluar dari tempat itu dengan merangkak. Di kemudian hari Suniarti baru tahu tempat itu ternyata hotel kelas murah di kawasan Mong Kok.

Tertatih-tatih dia berjalan meninggalkan hotel celaka itu. Tak ada seorang pun yang menghiraukannya. Sampai di tepi jalan raya, Suniarti dihampiri seorang buruh migran asal Indonesia yang melihat darah mengalir dari selangkangannya. Dia segera ditolong dan diberi uang saku untuk pulang ke shelter.

Suniarti menutup diri. Dia malu dan berusaha menyembunyikan kemalangan yang menimpanya. Dia tak menceritakan kejadian itu kepada sahabat-sahabatnya di shelter. Dia cuma menanyakan kenapa dua kawan yang mengajaknya ke Kowloon Park tega meninggalkan begitu saja.

Suniarti tak kuasa menahan derita, lahir batin. Dua hari kemudian dia menangis histeris sepanjang hari. Vaginanya terasa gatal bukan main. Dari vaginanya keluar lendir berbau tak sedap. Perutnya sakit dan sering kejang-kejang.

Lelaki Pakistan itu telah menularkan penyakit kelamin. Menurut dokter yang memeriksanya, vagina perempuan malang ini terserang kutil rahim (genital warts). Untuk mengobati penyakit itu butuh waktu lama. Jika tidak segera ditangani, kutil itu bisa memenuhi liang vagina. Seminggu sekali Suniarti harus menjalani pengobatan di Female Social Hygiene Clinic, Yau Ma Tei Jockey Club General Out Patient Clinic. Pengobatan itu atas biaya uang kas shelter.

Celakanya, para penghuni shelter mulai menjauhi Suniarti. Mereka takut tertular penyakit mengerikan itu. Dengan berat akhirnya Suniarti menceritakan pemerkosaan itu. Para penghuni shelter kaget dan kemudian melapor ke polisi.

Selama menunggu penyelesaian kasusnya, Suiniarti bergabung dengan Indonesian Migrant Workers Union. Namun, polisi Hong Kong tidak menemukan pemerkosa dan si Cantik yang "menjual" Suniarti. Juga tak menemukan bukti penganiayaan oleh orang tua bekas majikannya.

Suniarti putus asa dan menutup kasusnya. Ia tak betah lagi tinggal di Hong Kong. Kota harapan itu telah menghadirkan derita tak terperi.

Suniarti memutuskan pulang ke tanah air. Dia mendapat tiket, satu bulan gaji, dan uang libur dari bekas majikannya. Namun dia diwajibkan mengembalikan satu bulan gaji yang sudah diterima kepada kemajikannya, karena dia kabur. Setelah dihitung, Suniarti cuma mengantongi sisa HK$ 150. Padahal, untuk mendapatkan uang itu dia harus menunggu sidang kasus ketenagakerjaan selama setengah tahun.

"Saya pasrah jika nanti suami menceraikan saya," katanya pilu.

Wajahnya menyimpan beban dan kesedihan yang dalam. Dengan pandangan kosong, Suniarti menuju bandara untuk meninggalkan kota laknat itu. Ia pulang hanya membawa HK$ 150 dan derita tak terkira.

--------
kisah nyata dari kumpulan kisah shelter yang kutulis dalam buku harianku.
- Mega Vristian, pembantu rumah tangga di Hong Kong.

Bicara tentang buah rambutan cerita mengalir berebutan.

Bicara tentang buah rambutan cerita mengalir berebutan.
Share
Bicara tentang buah rambutan cerita mengalir berebutan.
Oleh Mega Vristian


pohon rambutan berdiri tegar dekat jendela kamarku
rimbun daunnya, kutulisi puisi
ada pusi buat mama, buat papa, buat kakek dan nenek
juga puisi buat teman-teman

suatu hari seorang kawan main ke rumah
ingin memetik buah rambutan yang merah meranum

"hati-hati memanjatnya, banyak puisi"
matanya melotot, tubuhnya hampir melorot

aku lantas tertawa cuma angin yang paham yang kumaksudkan
sebab temanku bermain dalam khayalan

--
Minggu kemarin di taman Victori, Hong Kong. Saya teringat puisi karya anak saya, Bima. Yang berjudul “Pohon rambutan”, saat seorang kawan memberikan sebuah rambutan, katanya oleh-oleh dari tanah air.

“ Mbak titip yo, tutupi jaketmu wae” Belum sempat rambutan saya makan. Saya dikagetkan oleh seorang perempuan yang usianya jauh lebih tuwa dari saya yang mendadag menjatuhkan satu tas kresek besar kebetulan berisi rambutan ke pangkuan saya.

Tanpa banyak bertanya saya langsung menutupinya dengan jaket yang sedari tadi saya letakkan disamping atas tas tangan saya. Dari jauh saya lihat beberapa petugas penertiban taman victori yang biasanya dipanggil ‘pak dhe” oleh penjual mingguan dari kalangan pekerja migran Indonesia, merek berjualan dengan maksud untuk menambah penghasilan walau sejujurnya dilarang oleh pemerintah Hong Kong.

Hati saya was-was juga ketika petugas lewat didepan saya. Matanya galak mencari sesuatu yang dicurigai. Saya berlagak tenang membaca buku, kebetulan saya membawa setumpuk buku yang akan saya kembalikan ke perpustakaan pengelolanya kawan pekerja migran juga yang mangkalnya di taman Victori, Karena masih pagi perpustakaan belum buka, akhirnya saya duduk lesehan di pinggiran jalan tempat pasar mingguan, yang sering tiba-tiba harus bubar karena diserbu petugas. Saya suka berada disana untuk melepas kangen makan, makanan daerah: gatot, tiwul, cenil dan klepon.

Kurang lebih dua puluh menit, perempuan yang tadi menitipkan rambutan ke saya kembali, Napasnya ngos-ngosan.

“ Minum dulu mbak, sudah tak ada petugas kok” kata saya sambil mengodorkan sebotol air putih.

“ Saya sudah sering mengalami hal ini, tapi masih saja saya takut dan gugup”

Saya sengaja tak memberinya komentar, karena dia pasti tahu resikonya dari berjualan di taman victori.

“ Baru hari ini saya mencoba jualan rambutan, minggu-minggu kemarin sih jualan rempeyek dan telor punyuh, tapi susah lakunya banyak saingan, ohya mbak gak ada demo ya hari ini dan kok tulisan mbak lama gak ada di Koran?”

Ah! Saya tergagap dengan pertanyaannya. Saya tatap wajahnya, mungkin saya mengenalnya tapi lupa.

“ Mbak tidak kenal saya kok. Orang-orang yang ikut demo dan suka nulis saya hapal kok mbak. Sayakan jualannya keliling lapangan victori, jualan sepi istirahatnya ya baca-baca Koran gratis. Ohya demo teruuuuus, KJRI ra bosen yo ? didemo bertahun-tahun, mbok tuntutan-tuntutan yang demo itu dipenuhi saja, wong aslinya di Hong Kong ra onok aturan ngawur”

Akhirnya saya mengetahui namanya, Rugiah. Berasal dari Tulung agung, anaknya tiga. Dia istri pertama suaminya baru saja menikah lagi, karena menghamili perempuan lain. Anak pertama perempuan setelah lulus dari perguruan tinggi di Surabaya dan kemudian bekerja di Kalimantan, anak ke dua kuliah di Malang, tapi katanya tidak lulus-lulus pintarnya minta kiriman uang dan berulang kali ganti hp dan lap top. Dengan alasan untuk keperluan kuliahnya, sedang anak bungsunya meninggal karena korban tabrak lari ketika pulang sekolah. Rugiah kerja di majikan cukup berat, majikan kaya sekali tapi memperlakukannya seperti mesin, dia nekad tidak mau ganti majikan karena menghindari potongan gaji yang dilakukan agen. Cerita duka terus mengalir dari Rugiah.

" Kersane mbak, rayat kulo nikah malih, kulo mboten gugat cerai, mangke lak sadar piyambak, mboten nopo-nopo kulo soro tapi anak kulo mangke pinter lan urippe seneng, nyuwun pendongane anak kulo ndhang lulus kuliah nggih”

Sambil berkata dalam bahasa jawa, dia sodorkan rambutan yang sudah separuh dikupasnya, saya menerimanya tak mampu menolak, sementara dia sibuk mengikat rambutan menjadi beberapa bagian untuk dijual, pikiran saya menerawang jauh. saya punya banyak kawan- kawan di alam maya, yang saya kenal lemat grup-grup sastra atau fb, adakah diantara mereka anak dari Rugiah ini. Banyak kaum ibu yang menyembunyikan kedukaan hidupnya kepada anak atau keluarganya, karena tidak ingin menyusahkan pikiran mereka.

Saya tinggalkan Rugiah, setelah bersalaman dan memeluknya sebentar, taman Victori makin ramai dengan pekerja Indonesia yang sedang berlibur, saya percaya nanti pasti akan ada cerita lagi yang mengalir tinggal apa saya masih punya kesempatan untuk menulisnya dalam buku harian saya, sebab kemarin pun lewat telpon ibu bercerita jika pohon rambutan sedang lebat meranum menunggu saya petik.
Powered By Blogger

BUKU TAMU

ARSIP BLOG

PROFILKU

Foto saya
Pekalongan, Jawa tengah, Indonesia

Yang mengunjungi Blog ini

CHATTING


ShoutMix chat widget

JAM BERAPA ?

KELUARGAKU

KELUARGAKU
Wisuda Statistik Terapan D3 MIPA UNNES

gubuk

gubuk
di depan rumah

wisuda UNNES

wisuda UNNES
Fakulta s MIPA Jurs Pendidikan Matematika

KAMUS INGGRIS-IINDONESIA

Bagaima isi puisiku ?

PENGIKUT

KOMENTAR