Oleh Kawe Shamudra
KETIKA sebuah puisi dibaca seratus orang, maka boleh jadi akan menimbulkan seribu penafsiran dan penemuan makna baru secara tak terduga. Puisi lahir dengan karakternya sendiri yang multi interpretasi. Puisi adalah buah karya dan karsa manusia. Dengan intuisi, akal budi dan perasaannya, manusia bisa menangkap pesan-pesan dalam puisi meski tidak semuanya dapat dipahami secara utuh. Masing-masing individu punya daya tangkap dan pemahaman yang berbeda dalam mengapresiasi sebuah puisi.
Tubuh puisi merupakan wilayah yang sangat prifat, bahkan mungkin gelap. Hanya si penyairnya yang tahu persis makna puisi yang ditulisnya. Lewat kekuatan metafora dan racikan bahasanya yang khas, seorang penyair bisa melahirkan puisi. Bisa menghibur diri dan menghadirkan kejutan bagi pembacanya. Pembaca boleh jadi mengalami ketidakberdayaan ketika harus memahami puisi yang dibacanya, lantas menggerutu lantaran tidak sepenuhnya mudeng dengan kata-kata yang diracik si penyair.
Hal semacam itu bukanlah persoalan baru. Sejak dahulu kehadiran puisi selalu mengundang tanda tanya, ketidakmengertian dan mungkin kekaguman bagi pembacanya (baca: orang lain). Jangankan orang lain, penyairnya sendiri boleh jadi tidak tahu persis apa makna yang tersirat dalam puisi yang ditulisnya.
Lantas apa sesungguhnya makna kelahiran sebuah puisi jika akhirnya menjelma menjadi karya gelap dan tidak bisa dipahami secara utuh? Untuk apa penyair menulis puisi dan harus bersitegang dengan dirinya, dengan lingkungannya, jika akhirnya puisi dicampakkan begitu saja ke keranjang sampah lantaran tidak dipahami maknanya?
Boleh-boleh saja seseorang berpandangan ekstrim dan menganggap proses kelahiran puisi tak terubahnya seseorang yang sedang bang air besar. Ketika rasa mules sudah tak tertahankan lagi, lantas ruang WC menjadi tempat pelarian paling rasional. Jika demikian, puisi tak ubahnya seonggok sampah yang keluar dari tubuh yang kotor dan menjijikan. Meskipun sesuatu yang menjijikan tak selamanya buruk.
Atau barangkali ada pula pihak yang menempatkan kerja penyair dengan mengibaratkannya sebagai wanita yang mengandung bayi dalam rahimnya. Sekian waktu ia harus bergulat dengan rasa sakit yang tak tertahankan, perut mulas, ngidam, dan selanjutnya melahirkan bayi suci.
Mengandaikan sebuah puisi dengan seorang bayi barangkali terlalu berlebihan. Namun, paling tidak, metafora ini bisa dipahami sebagai sebuah penghormatan terhadap kerja seorang penyair dalam meresapi dan memahami kehidupan ini.
Puisi adalah sebuah pernyataan, sebuah sikap, saksi kehidupan, bahkan bisa juga menjelma sebagai ikrar jiwa jika ditulis dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Tanggung jawab penyair terhadap puisi yang ditulisnya tidak sekadar pada konsistensinya dalam melahirkan ide-ide puisi, melainkan pada kejujurannya dalam berekspresi -- menyelaraskan antara kata dengan perbuatan. Jika prinsip etis kepenyairan ini dilanggar, maka ia sendiri yang akan menanggung akibatnya: si penyair akan di-cap sebagai pendusta yang lupa dengan kata-kata yang diucapkannya, bahkan bisa menjadi mediator kerja setan (baca Qur’an Surah Asyuara’).
Kerja kepenyairan merupakan perjuangan mengisi ruang hidup dengan nilai-nilai kereatifitas. Penyair punya banyak kesempatan untuk mengomentari kehidupan ini. Bebas menyanjung Tuhan, mengritik penguasa zalim, meninabobokkan kekasih, ngidung riye-riyep, mengajak demo, dan sebagainya.
Ketika proses kreatifitas itu berlangsung, seorang penyair bisa mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menganyam kata, menambang nilai-nilai dan makna kehidupan. Tugas penyair adalah mencari mutiara-mutiara kehidupan yang tersembunyi di jagad raya ini. Ketika mutiara-mutiara ini berhasil ditemukan, lantas sang penyair menyampaikannya ke ranah publik menjadi “santapan” masyarakat. Dan masyarakat bebas menilai puisi itu sesuai kadar pemahamannya sendiri-sendiri.
Bahasa puisi sebagai alat penyampai gagasan meniscayakan seorang penyair untuk pandai merangkai kata seindah mungkin tanpa meninggalkan tugas utamanya menjaga amanah kehidupan. Bagaimanapun, penyair bukanlah juru kampanye, bukan guru, bukan arator, meski ia bisa menjalani profesi apa saja.
Penyair berusaha menambang nilai-nilai keindahan dan kebajikan. Dengan bekal hati nurani, penyair bisa bersuara secara jujur menceritakan apa yang sedang terjadi, atau barangkali mengungkapkan sesuatu yang tidak disadari orang lain. Praktik kezaliman, perselingkuhan penguasa, kemunafikan, dan lain-lain yang tidak disadari khalayak umum, bisa jadi diketahui oleh penyair. Penyair bisa menangkap sinyal-sinyal ketidakadilan dan kebobrokan dunia, lantas ia bersuara meski hanya lewat bait-bait puisi.
Sebagai manusia biasa, peyair pun bisa terjebak dan berselingkuh dengan keadaan. Ia bisa saja menghianati kenyataan dan bersikap pengecut: tidak berani bersuara dengan jujur dan apa adanya meski ia menemukan sejumlah ketidakberesan yang membahayakan kehidupan masyarakat. Penyair bisa saja takut dipenjara atau dibunuh oleh musuhnya yang tidak ingin kejahatannya terbongkar. Ia lebih memilih menulis dan merancang puisi melankolis untuk kepentingan-kepentingan pragmatis. Ia tidak ingin bernasib tragis seperti Wiji Thukul yang diculik tak jelas rimbanya, atau seperti WS Rendra dan Emha Ainun Nadjib yang dicekal kebebasannya. Nah, sampai sejauh mana kualitas dan keberanian penyair Komunias Pena?
* * *
MENIKMATI suguhan antologi puisi Kidung Alas Roban (Kiara-3) yang “dilahirkan” Komunitas Pena Batang (2007) sesungguhnya seperti sedang berhadapan dengan sebuah cermin kecil. Wajah bopeng kita dalam makna pribadi maupun sosial tergambar jelas di sana. Seperti biasa, kehadiran puisi selalu membawa karakter yang nyaris sama. Ada suara ketidak-adilan, kecemasan, keterhimpitan, keceriaan, satire, melankolis, romantis, khusyuk, bahkan ndableg. Jika menyimak karya-karya puisi secara keseluruhan akan ditemukan berbagai susana: girang, ngelangut, dan garang. Ragam tema dan illusi bahasa membaur jadi satu menjelma pelangi dengan aneka warna.
Namun kalau harus bicara jujur, setelah membaca karya-karya yang masuk, kita menemukan semacam oase yang menyejukkan dan menyegarkan. Ada sudut-sudut yang menggelitik sekaligus menyentakkan perasaan, juga nurani. Seperti menemukan bisikan, jeritan, kesyahduan, hentakan, dan elusan jiwa lewat rahasia kata-kata. Ada gugatan sekaligus pesan moral yang hendak disuarakan oleh para penyair dengan bahasa yang ringkas dan khas.
Kalau dipilah satu demi satu, pesan-kesan yang disampaikan antara penyair satu dengan lainnya memiliki kedalaman yang berbeda-beda. Masing-masing penyair berusaha membangun metafora dan menciptakan jiwa puisi lewat pemilihan kata yang mengundang efek tertentu. Penikmat puisi yang jeli pasti mampu menemukan dan menangkap daya-daya rahasia yang tersirat dalam setiap tema yang dimunculkan.
Dari pemahaman sepintas, bahwa alur tema yang disampaikan antologi Kiara 3 tidak beranjak jauh dari tipologi Kiara-1 dan Kiara-2. Si penyair seolah tidak bisa terlepas dari pengaruh lingkungannya. Ia dipaksa bersuara seirama dengan denyut lingkungan (kondisi sekeliling) yang dilihat dan didengarkannya. Puisi-puisi yang ditulisnya menjadi semacam wilayah ekspresi diri yang kental. Gagasan yang dimuntahkan merupakan bagian dari cermin realitas individu dan sosial. Antara penyair dengan puisi yang ditulisnya sepertinya tidak ada jarak. Sehingga wajar kalau ada seorang karyawan yang menulis puisi tentang PHK, atau guru yang menyuguhkan pesan-pesan puitis kepada murid-muridnya, atau seorang mubaligh yang menggugat soal kemunafikan yang tercecer dalam masyarakat.
Latar belakang profesi anggota Komunitas Pena yang berlainan (guru, petani, nelayan, karyawan, mahasiswa, wartawan, pengusaha, pemijat dan lain-lain) merupakan kekayaan yang ikut memberi warna kepenyairan masing-masing. Satu tema bisa diusung bersama-sama dan dituang lewat sudut pandang yang berbeda. Inilah keajaiban gerakan sastra. Puisi menjadi semacam alat untuk menceritakan kejadian, cita-cita, impian, bahkan mungkin ambisi. Dan para penyair bisa tampil sederajat dalam satu ceruk bernama antologi.
Persoalan baik-buruknya kualitas puisi yang tersaji dalam buku ini tentu saja tergantung dari tinggi rendahnya daya apresiasi pembaca. Sebuah puisi karya penyair tertentu boleh jadi dianggap bagus dan berkualitas oleh kalangan tertentu, tetapi oleh kalangan lain bisa sebaliknya. Pemahaman dan penilaian terhadap puisi sering dipengaruhi unsur subyektifitas. Tetapi kejujuran dalam membaca dan memahami puisi barangkali bisa dijadikan pijakan awal untuk mengapresiasi karya puisi sekaligus memahami kelahiran puisi itu sendiri sebagai “bayi” kebudayaan. ***
AJI SURAJI
JALAN MASIH PANJANG
Jalan masih panjang
kuharap lentera tetap menyala
angin terus menggoda
mengibas-ngibaskan ekornya
berjalan aku bersama roda-roda
merayap
menyusuri lorong-lorong kata
dan makna
siang merobek malam
malam meredam siang
ada kidung sayup mengalun
menggapai petang merenda remang
Jalan masih panjang
malam semakin kelam
kidung duka datang menghilang
diseret arus gelombang
laksana kalah perang
wabah praja merajalela
perutnya tak lagi berpantang
wajah bopeng malu bertopeng
jantungnya bocor udara kotor
kidung pun mengembara
di gunung-gunung
di lembah-lembah
di hutan-hutan
dan di lautan
Jalan masih panjang
mendung bergelayut di awan
wajahnya kelu dan sirna
kuharap gerimis tak segera mengejar
karena cahaya masih merapat di layar
jika hujan tiba benar
cahaya satu-satu jatuh menyebar
dan permainan pun dihentikan
Batang, Juni 2007
AHMAD MARZUQI
SEPOTONG CINTA
Perburuan cinta
di antara semak belantara
menawarkan seruap minuman
dalam denting musik
patah-patah daun waru
Pergumulan kelam malam
menyeruak nafas kelelahan
ketika tetes air hayat
mengakrabi ikan-ikan memejam
dalam tidur panjang
Sepotong selawat melesat
mengemas kesah kasih
terimalah
yang tersimpan dalam etalase kaca
yang tenang dalam Raudah
ENGGAN
Tak pernah menyesal
ketika uang masuk loket kebun binatang
daripada masuk kotak amal
Tak pernah menyesal
ketika malam terjaga diperdaya piala dunia
daripada salat dan zikir panjang
Tak pernah peduli
ketika tiap hari baca koran
daripada tadarus Quran
Tak pernah berpikir
ketika uang dihambur di mall
daripada melunasi zakat mal
Tak pernah jera
ketika istighfar pura-pura
daripada taubat nasukha
Tak pernah perhatian
ketika dalam kulkas tersimpan makanan
daripada mengundang yang kelaparan
Saat itu ejakan ayat-ayat mukmin
aku tak demikian
Saat aku ejakan ayat-ayat kufur dan munafik
aku demikian
Aku terhentak
Aku gelisah
Aku resan
Aku enggan membaca Quran
Beruntung orang-orang yang tak pernah
membaca Quran
dan tak pernah tahu maknanya
PANGGILAN
Dalam antrean panjang
aku masih tetap bertahan
menunggu panggilan
Ibrahim raib dari antrean
Muhammad demikian
Pesannya mengalir sealir air sungai menuju lautan
masih secerlang cercah mentari
sesegar embun agi
sesayup angin tengah hari
semanis madu
sepahit empedu
searum puspa
semerekah bunga
segulita malam
semerebak mewangi
Awal nama huruf A
Awal huruf segala bahasa
Alif adalah A
Ha adalah A
Dalam lelah lelap menunggu panggilan
aku terus menyebut nama
di antara rongga
di antara degup jantung
getar hati
dengus napas
kerling mata
dan di antara guruh suara
Bibir membasah
di balik terik
Rindu gelegak tatap Baitaiq
tetes Zam hilangkan saqam
Tujuh keliling tak rasa pusing
lari hanya dua arah
sampai Arafah
Hari-hari menanti sapa
ketika duta menyimpuh Baginda
pasrah segala titah
pasrah segala arah
Drs. AHMAD MARZUQI biasa disapa Marzuqi. Lahir di Pekalongan,
AGUS SUKMO
LELAKI MENUSUK BOLA MATANYA
seorang lelaki tua
menusuk bola matanya dengan duri mawar
sambil mencela anak-anaknya:
“semua telah lupa, telah lupa!”
keluhnya.
Ia pandangi foto sembilan anaknya
yang terpajang di tembok tua.
semua mengenakan toga.
“semua telah lupa, telah lupa!”
keluhnya.
Batang, November 2006.
KEPALA DUSUN
lelaki yang dulu berbadan tegap
dan suka membentak-bentak penduduk
dalam acara kerja bakti pada minggu pagi.
tetapi musim akhirnya menghukumnya
dengan kerentaan dan suara pelo.
anak-anak tetangga menghinanya
dengan nyanyian burung kakatua.
Batang, November 2006.
MAYAT MEMIKUL DOSA
dalam perjalanan menuju kubur
mayat itu terasa berat dipikul
karena buhul-buhul dosa
belum dilepasnya.
Batang, November 2006.
PEREMPUAN
kemanakah kekasih hilang,
sedangkan tubuh telah lama mengeriput.
musim bergetar, mawar tak lagi segar.
tubuh bau tanah. kulit kusut masai.
tak ada yang sudi membelai
Batang, November 2006.
BERCANDA DENGAN BELULANG
di pekuburan tua
anak-anak bercanda dengan tengkorak.
“kau tak lagi punya nama,” kata mereka
“dan sebentar lagi tempat tidurmu
digusur penghuni baru
kasihan deh lu…”
Batang, November 2006.
CATATAN NOVEMBER 2006
seorang ibu tersedu
melihat bibir anaknya membiru
perutnya tertembus peluru.
entah tingkah siapa.
barangkali ulah pemburu buta.
beberapa hari kemudian
seorang ibu yang lain melahirkan bayi
dan membakarnya hidup-hidup.
“dimanakah daging bayi itu?”
Batang, November 2006.
EPILOG
orang-orang sibuk
mencari bekal ajal.
tak mungkin
mayat mendengkur
dalam kubur.
Batang, November 2006.
AGUS SUKMO, SPd akrab disapa Age Sukma. Lahir di Batang, 8 Agustus 1961. Sehari-hari bekerja di lingkungan Dinas Pendidikan Kecamatan Limpung, mengurusi Pendidikan Luar Sekolah. Pernah menjadi wartawan Majalah Kriminal & Pencegahannya. Selain menulis puisi, agus juga menulis buku tentang motivasi dan metafisika Islam. Pendiri sekaligus ketua LSM Putera Roban Bersatu (PRB) yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat.
BAMBANG INDRIYANTO
PAWANG
Mulut adalah harimau
yang akan menjaga dan merobek tubuhmu
Lengan adalah elang
yang membela dan mematuk otakmu
Namun hatimu adalah pawang
yang akan menjinakkan semua kebinatangan
yang bersarang dalam dirimu
Batang, 8 Juni 2002.
POTRET
Mata kuyu pipi keriput dengan dahi penuh goresan
serta berkeringat garam
dengan tatapan rembulan membelai keningku
sambil berkata lirih:
jadilah kau lelaki sejati
bagai Arjuna melawan Karna
tak pandang musuh atau saudara
Jadilah surya di siang hari dan Purnama di malam hari
yang tak pernah lelah bersinar meski mendung menghadang
Kulihat ayahku menitikkan air mata
memandang ketuaannya, namun tugas belum usai
haruskah aku selesaikan tugasnya
atau inikah gambarku esok lusa?
Pekalongan, 26 Agustus 2003.
KAMBOJA
Gerimis pada suatu sore di bulan Desember
seikat kamboja kau letakkan di jambangan kalbu
aku termangu
dan mulutku tetap terkunci
Sementara kau tersenyum
memandang hari yang makin kelam
dan petang akhirnya kau tinggalkan
dengan sejuta misteri
Akankah inginku kau bawa dalam tidur panjang
atau berdendang geliatkan sebuah tarian
atau idak untuk apa-apa
kamboja
sulit berenang dalam anganmu
dalam setiap lorong waktu
Pekalongan, 1 Desember 1981
DI
Di rembang petang mentari memejam
bulan tersenyum malu
wangi kemuning merasuk sukma
bercampur harum bau rambutmu
kulihat mawar di matamu
Kita banyak membuka bab demi bab
buku tua yang kau simpan di bawah lemari
Telah banyakvaritas kembang yang terbicarakan
dan angin makin menghimpit leher
serta menggoyangkan pokok-pokok melati
Namun bintang di matamu tak kunjung berseri
Di bangku batu bisu di depan rumahmu
kulihat kelopak mawar di matamu
kian layu
dan kau semakin tak peduli
Sementara kalender setiap saat mempreteli
anganmu yang semakin melayang
bersatu menuju alam awan kelabu
sewarna rambutmu
Pekalongan,
BAMBANG INDRIYANTO, SPd lahir di Pekalongan,
EDI B MULYANA
RINDU I
: Nikmah Puji Asuti
ada helai rambutmu
kemarau luruh
daun-daun yang jatuh
adalah selimut malam
yang kulipat dalam perutku
Kudus, 1996.
RINDU II
(Aku dipeluk 5 September)
di sini senantiasa dingin
daun yang gugur
menimbun nganga kepergianku
lalu september menjadi liar
dalam almanak dan angka
pun air mata memelukku
tanpa ampun
bertahun-ahun
Batang, 2000
EDI B MULYANA, lahir di Kudus dan pernah aktif di Kelompok Penulis Kudus (KPK) bersama para penyair
EMAN SOEWARTO
TUKANG PIJAT
Sehari-hari jasadmu bersimbah peluh
dalam jemarimu terlukis kenikmatan
walau yang memetik orang lain
namun engkau tak pernah mengeluh
memeras keringat terus memijat
Batang, September 2001
CINTA PELUH
Cinta itu peluh kian dilumat tak kian mengering
terus haus kala dahaga diguyur
tak meratap sepi di kelam malam
tapi setelah cinta tak menjadi peluh
dunia akan terasa gelap
kendati sejuta matahari menjadi cahaya
oh, nyenyat
Batang, September 2001
LALAT-LALAT HIJAU
dari bilik gedung pencakar langit
tersimpanlah wajah-wajah keangkara-murkaan
butir mesiu berhamburan merobek dada
mayat gelimangan tengkorak berserakan
korban kepongahan lalat-lalat hijau
di balik seragam penguasa serakah
Batang, Oktober 2001
LESUNG
Suaramu tak lagi mengalun
karena antan sudah haram menjamah
Dewi Sri yang ramah kini hanya mampu meratap
pak Tani dan mbok Tani tak lagi berdendang
di saat fajar subuh menjelang
Batang, 15 Mei 2003
MATAHARI
sinarmu acap menumpahi bumi
hingga juta tahun cahaya
namun tak pernah garang tak pernah lekang
seluruh makhluk menikmati
pantang mengeluh melayani kehangatan
di penjuru alam
Batang, 15 Mei 2003
TUBUH YANG LUKA
kubuka lembar demi lembar buku harian kumal
yang dulu tersimpan di almari tua
dalam baris kueja luka tubuh menganga
menguak kebohongan dan kemunafikan
yang menyelinap di hati seorang renta
sebelum senja menghadang
saat pulang keharibaan
‘tuk memohon ampunan-Nya
Batang, Pebruari 2004
KUCING BETINA
Ibarat kucing betina tubuhku kini sudah payah
membawa beban terkandung dalam perut buncit ini
di saat sedang menantikan kelahiran anak negeri
dan jagad raya tak sanggup menyambut kehadirannya
apa mungkin karena sudah tidak ada dunia
atau dunia sudah menjadi milik makhluk aneh
ialah orang kaya mata sipit yang tak tahu tata krama,
tak bisa melantun tembang ilir-ilir, tak mampu
bermain gobak-sodor waktu bulan purnama
makhluk aneh bak Dajjal itu semakin merajalela
dunia kucing betina telah dikemah penuh nafsu
tinggal ampas dan sampah nuklir yang tersisa
jadi santapan ponang jabang-bayi calon pendusta
yang sebentar lagi hadir dari rahim ibu anak negeri
kucing betina pun sudah tak bisa bernafas lega
karena makhluk mata siit telah tega menelan dunia
dunia tempat tinggal dan bermain anak-anak negeri
yang kini menjadi suku terasing di negeri sendiri
telatah nusantara yang subur lohjinawi ini
hanya tinggal kenangan dan menyisakan kedukaan
dikoyak para penjilat dan para pengkhianat
yang berkedok pejabat dan wakil rakyat
Batang, 15 Februari 2004.
EMAN SOEWARTO, lahir di Batang, 31 Maret 1952. Tinggal di Petodanan Baru, Karangasem Selatan, Batang. Karya-karyanya berupa artikel, reporase, puisi dimuat di berbagai media cetak lokal maupun nasional. Puisi-puisinya berbahasa Jawa dimuat di majalah Damar Jati, Djaka Lodang, Jaya Baya, Penjebar Semangat, dan lain-lain. Kini masih aktif menjadi wartawan majalah berbahasa Jawa terbitan Jawa Timur.
M. FAHRUDIN HIDAYAT
EPIGRAF AMOR
Dalam keremangan berkelebatan mimpi
tentang seuntai wajah yang tum buh di dahan kangen
berkejaran tumpang tindih silang sengkurat dengan benci
segalanya tumah ruah di sawah ladang kenangan
membius jiwa agar lunglai dalam kepasrahan
pun pijar lilin yang membias di lorong juang
Batang, 2000
SIRKUIT
Deru asap knalpot yang menuntaskan
birahi, bertumpang tindih dengan pertaruhan
nyawa, menjadi lencana setia jiwa
pengembara, meski pabila telah usai segala
pertarungan, yang tereguk hanya nurani lengang
“Lihatlah bendera telah dikibarkan, artinya
harus memilih mati atau menggenggam mimpi,
pun langit tak bertepi.’
Disini diajarkan memoma waktu demi sebuah
kemenangan, juga untuk meraih piala kejantanan
sang petualang, namun jangan dilupakan bahwa:
segalanya itu menabung tragedi
Diantara debu-debu yang membasuh mata jiwa,
terselip selembar catatan: “Hidup tak melulu
bersenandung atau nglaras mendengarkan perkutut
manggung.”
Sentul –
LAGU HUJAN
Hari ini masih ada hujan
Membasahi kantong menyusup di dompetku
Mengendap segar di hatiku
Hujan memang kadang suka usil
Kadang datang kadang mangkir
Memeras pikir
Hati kadang dekil
Tuhan, Engkau tak pernah kurang ajar
Meski hamba sering tersiksa rindukan hujan sampai terkapar
Dan Engkau seperti berkelakar
Tuhan, ajari hamba selalu bersyukur
Sebelum terkubur
Bawang, 1-2 November 2004
BANGKAI
Hari ini bau bangkai menyeruak
Menyusup udara mengaliri lorong-lorong
Terhenyak diri
Bangkai itu menguar dari hati
Mulut pun busuk
Tangan pun busuk
Kaki pun busuk
Langkah yang terkutuk
Hari ini aroma tobat mesti dilumurkan
Pada jiwa
Pada raga
Sambil berpesan pada angin
Bawa bangkai menjauh
Sampai dosa terjatuh
Bawang,
SELEPAS
Selepas subuh yang jauh dari gaduh
dada mendadak dialiri gemuruh
selaksa rindu di pembuluh
Selepas hasrat yang menjerat pekat
jiwa sekarat dambakan hakikat
memasuki pintu tobat
Selepas mimpi yang dibangunkan pagi
udara gejolakkan onani
jasad terkulai tak tersisa mani
Catatan kosong, Bawang,
LESU
Kelesuan meluapi raga
Jiwa yang geriap melusuh
Mungkin karena kekasih jauh
yakni anak isri yang kutinggalkan
Menggapai sauh
Tuhan, aku butuh suluh
Sungguh-sungguh butuh
Agar kelesuan menjauh
Semangat pun kembali penuh
Bawang,
SEEKOR ANJING MELINTAS DI PEMATANG
Berlari perlahan
Menggaris pematang
Saat aku pulang
Kampung halaman
Usai didera hidup
Terjepit di ketiak angin
Anjing itu aku
Tak tahu kanan kiri penuh makanan
Meski tuk lain mulut binatang
Sawah itu adalah misteri
Bulir padi yang menetas menjelma nasib
Tak mampu kuraih, kukunyah
Anjing itu menyalak
Hatiku pecah
Yogyakara, 2004
ANAK
- olfat jabir hidayat
Mainan itu pecah
Tangis itu tumpah
Aku terbata memungutinya
mencari perekat di angin
mainan itu tak utuh
tak terganti, membulir di sudut mataku
meratap, bukan, aku tak akan
sedu sedan hanya memecah mainan demi mainan
aku temukan mainan utuh
di pinggir mimpi anakku
kupunguti dengan sehelai doa
Batang, 2004.
M. FAHRUDIN HIDAYAT, lahir di Bantul, 16 Juli 1968. Lulusan D3 Kimia UGM tahun 1994. Memilih hidup sebagai guru di SMA N Bawang. Menulis baginya adalah sebuah selingan hidup yang menghibur sekaligus mendatangkan uang. Ide-idenya tentang banyak hal banyak tercurah lewat
MUDIYAT JOHAN
KEHADIRAN
Kehadiranmu bagai mentari yang
tak terpanggil, engkau adalah
sinar yang membawa gelombang
cahaya ke lautan hati, dalamnya
anugerah merupakan air terjun
yang meluap dengan kabut-kabut
cinta, pemberian tanda-tanda
apapun adalah tunggalnya bahasa
cinta milik pribadi.
Jika engkau angin membawa lajunya
bahtera, berkembanglah layar-layar
jiwaku melewati tanjung-tanjung
harapan menuju ke dermaga cinta,
ucapan terima kasih dan kegembiraan
yang lepas dan menerimanya dari
kedatangan baru penuh muatan
indah, seindah dengan nama-
nama kekasih.
Seakan-akan aku dibaca dan diterjemahkan
dengan bahasa ke Illahianmu,
seluruh tubuhku terasa dingin
dingin sekali, semakin tak terasa diriku
semakin berat pula kisah hidupku,
engkau milik siapa? Engkau katakan
hanya satu kepasrahan, milik pribadi
Tuhanmu, yang bakal singgah sampai
di pelabuhannya akidah, itulah kau
temukan sebuah titipan yang indah.
Dayung mendayung berkayuh laju membelah
arus membelai kalbu cita-cita yang menjiwa
sulit untuk bertemu, apa yang kutinggalkan
itulah mimpiku jauh-jauh kupandang jauh
antara kata dan tujuan kehidupan cinta dan
kesunyian tetap akan menunggu, aku dan
engkau adalah alternatif dari kebersamaan
antara diriku dan dirimu
tetap juga yang namanya cinta merupakan
temuan titipan dan dibawa, dibawa dalam
alunan kehidupan sampai apa yang terakhir.
Biarlah rindu itu ada yang menunggu,
Biarlah rindu itu mengejar waktu,
Biarlah rindu itu bersemayam dari
Sang Pengembala Keindahan yang
memberikan kata-kata tersendiri
sunyi di musim pada singgasana keharuman
redunya cahaya kelabu di langit yang
semakin jauh.
Batang, Juli 2007.
BAIT-BAIT INDAH KEMATIAN
Bagian I
Suasana berkabung dengan asap dupa yang mewangikan di sekeliling ranjang pembaringan, kau tuangkan seteguk anggur wangi bersama ucapan kata-kata doan di perisirahatanku, kini aku sudah menyelesaikan segala kelelahan dengan pemandangan akhir menutup mataku.
Sayup-sayup kelembutan sekarang sudah mengetuk untuk menghentikan anggilan sebuah nama yang terbebas, aku sebuah jasad dari bumi dari langi dari belaian cina dan dari sebuah napas.
Biarkan kini aku terbaring dalam kesaksian yang bisu.
Biarkan langit tetap tegar tak usah lagi bersenyum rindu denganku.
Biarkan udara senyap untuk melaya tu buhku membeku darahku.
Biarkan jiwaku dijadikan dupa untuk mengatakan penyampaian cinta.
Kubiarkan berbagai salam engkau datang.kubiarkan berbagai bunga-bunga untukku.
Kubiarkan lilin-lilin paradis menyanyi putih seperti kapas-kaasku.
Seluruh kotapun berseru menaruh anda-tanda kereduan sang mendung memberi pekabaran baru pada pepohonan dan daun-daun.
Mungkin para malaika bersama kidung-kidung akhirat telah menyatu dengan bunga-bunga biru, bunganya tahmidu untuk menjemput menunggu aku.
Tangan-tangan lentik dengan kelembutan jemari yang halus erlahan membuka dadaku mensucikan menyirami seluruh tibuhku, tubuh yang pernah nyanyikan dalam kerinduan cinta, yang berbahasakan indah di dalam hati.
Saudara-saudaraku tak usah gemetar memberikan tangis, jangan kaubiarkan air maamu menees berbahagialah untuk dirimu unuk doa hidumu.
Tatanan kafan kain putihku seutih nurani yang engkau ersiakan, untuk memulas keheningan wajah gaibku mengingatkan sholat tegaknya hidupku, mengingat hidup tegaknya sholat untuk kematianku.
Bunga-bunga terbawa berdatangan indah untukku, berwarna-warni memberikan ceritaku yang telah habis di masa lalu, terucakan unukku selamat tinggal, ucapan dari kerabatku dan anak-anak yang ingin melihat mendekatiku sambil bibirnya menderai dari hatinya inilah sebuah kematian.
Uluran tangan-tangan lembut dengan kerudung wajah-wajah manis gemuruhlah seperi gelombang menabur bunga suara keillahian yang menggetar ada iradat-Nya Tuhanku, seakan mereka melihatnya membuka tabir kerahasiaan surganya.
Dupai akhir membelai keindahan mengukir jiwaku, dari kerahasiaan akbir sajak-sajakku kutinggalkan seirama sepinya waktu yang hanya begitu saja langka dimengerti orang, tempa dimana aku bersemayam yang manakah kuburan bungaku?
Bagian II.
Hari ini kutemukan mimpi kehidupan, kepergianku kuturuti mauku siapa yang membawa aku jiwaku sebagai burung yang erbang bersemayam di langit indah, terbang bersama nyanyian lagu langit yang makin jauh makin mendayu-dayu yang memisahkan diriku.
Kulewati dan kutinggalkan pemandangan demi emandangan rumah-rumah tercinta buki-bukit indah, curahan sinar yang bertambah memutihkan kain kafanku, seakan mengantarkan aku dikembalikan di persada tercinta.
Aku bersama kumpulannya cahaya dengan seribu warna yang menggubah lagu kebangkitan yang membuka pinu-pintu langit dengan puja-puji semesta dengan suara yang gemersik di keheningan yang diam, diamnya diriku, juga gemertak langkahnya kaki para malaikat dan bidadari melihat yang pulang kerahmatullah di keabadian yang damai.
Bagian III
Di sinilah pembaringanku dengan getaran jiwaku
Tema seluruh tubuhku tempat kediamanku.
Biarkanlah sukmaku diam menyendiri menunggu peradilan suci.
Biarkan ketenangan jiwaku melepaskan dari segala dahaganya duniawi.
Biarkanlah cerita hiduku yang melekat penuh sarat kejahilanku, itu titipan titik noda dari kaca eringatanku.
Bukanlah berlinangan air maa itu sedih aau gembira yang kubawa aau yang kutinggalkan itu pembawaan dari neraca mizan abadi.
Adalah pesona bahasa kematianku yang harus erjemah kepada saudara sahabatku dan utera-putera ibuku, luaskan lubang kuburku dan galilah dalam-dalam puisiku pun akan berkata surga abadi yang kusembunyikan adalah bunga-bunga indah yang ditanam indah dikuburku.
Tak usah kau andangi diriku yang menerima keasian telah melihat adanya pemerintahan suci yang meliur ketulusan hainya sang pribadi.
Tinggalkanlah kesendirianku, segerakanlah langkahmu unuk kembali engkau putera-putera bapakku, puera-utera ibuku, engkau anak-anakkekasih, engkau yang menabur bunga-bunga selasih.
Selamat jalan salam kamu aas makam kuburku biarlah rumput-rumut yang hijau dan bunga-bunga itu memadu tanpa bicara duka.
Biarlah angin datang membisiki ketenangan jiwaku, biarlah keharuman itu semerbak mewanginya Dzat Illahi yang bersemarak dengan kodra dan iradat-Nya.
Biarkanlah keharuman itu semerbah mewanginya Asma-ssma Allah Tuhanku pribadi.
Biarkanlah keharuman iu mewanginya semua sholawat nabi.
Biarkanlah kesendirianku jasad di maqom kuburku disiran puja-puji samawi.
Di sini tempat kediamanku dalam sunyi yang memisah hanyalah kesemurnaanNya Dzat yang mulak adalah bagiNya milik Tuhanku pribadi.
Batang, Juni 2000
UNTUK SEBUAH NAMA
Aku mencintaimu
tapi aku tidak bersamamu
aku mohon maaf
karma aku bersama rinduku
rinduku yang kutanggung di keabadian
demi Tuhanku
seperti jasadku yang akan berpisah
dari rohku untuk Tuhanku
Namamu sudah kutitipkan
sebanyak bilangan tasbihku
Batang, Januari 2007.
PURBO KUNCORO
LAGU DARI RELUNG HATI
- Ujian saat hendak ke tanah suci
musik dan tarian menghentak langit-langit hati
antara kepasrahan dan harapan
impian yang terajut benang-benang ilahi
tiba-tiba terurai angin taufan
menjatuhkan jarum rajut yang tajam
ke dalam bayangan putih melayang jauh
jalan masih panjang menuju ke haribaanMu
ingatan pada mendung menggelayut di pelupuk mata
pada malam terisak di atas sajadah
astaghfirullah, ampuni akan dosa-dosa kami
subhanallah, maha suci Engkau, ya Allah robi
di tanganMu yang perkasa
hati ini lemah lunglai
bebaskan kami dari belenggu yang menyesakkan
antara hidup dan mati
agar kami dapat ke rumahMu
labaik
Medio April 2007
PESAN SEORANG GURU
PADA MURIDNYA YANG BANDEL
seorang wiku layaknya di hadapan para cantrik saat hujan tiba
dia berdiri kokoh dengan tangan putih bermata jernih memantul mutiara
dari dalam samudera kehidupan yang luas
bahtera berlayar menghalau ombak menerjang badai merobek karang
berat suaranya memecahkan luasnya batuan hati
anak-anakku, lihatlah angkasa yang penuh bintang gemintang
bulan perawan bersolek
dan matahari yang tersenyum
tak pernah malas pada sang pencipta,
mereka jalani ketentuan ilahi tanpa bosan
untuk kehidupan manusia
tak bisakah kalian petik tanam dalam sanubari yang subur
apakah kalian lebih perkasa dari mereka
hingga segala aturan da ucapan tertelan angin gendang telinga yang pecah
anak-anakku, hari esok sangat panjang dan berliku dengan badai
arungilah dengan tegap perkasa selaksa pasukan menyerbu banteng
membebaskan putri dari naga angkara berlidah api
jadi ksatria untuk diri sendiri
membangun tanah-tanah kehidupan yang bisa untuk brtanam
dan menebar benih yang baik
lalu dikenang sebagai pembangun.
Medio April 2007.
PURBO KUNCORO, lahir di Pkalongan,
RAKIMIN
ITU TAWAZUN SAUDARA
Kemana saja engkau terbang, di sini pula jatuh Saudara!
Kemana pun kau pergi, di sinilah tempat kembalimu wahai Saudara!
Saudaraku! Tertawamu adalah tangis di kemudian hari, itu pasti
Saudara benci, Saudara cinta, silih berganti yang tak bisa dipungkiri
Oh, Tuhan!
Aku sadar dan sadarkan aku, jangan biarkan waktu
Sekarang juga, jangan besok, jangan lusa! Itu artinya sama saudaraku!
Tiada aneh tiada lucu, tiada untung tiada rugi, kata saudara kita yang tahu
Loh ada aa kau begitu? Bukankah memang harus!
Innalillah….. dan Alhamdulillah….. Itulah tujuh banding tujuh
Pertemuan….. dan perpisahan….. itu, satu banding satu
Berhenti….. serta berjalan, bagai 99 seperti Asmaul Khusna.
Jatuh bangun, tiada susah tiada senang, itu hanya dua dibanding dua.
RAKIMIN, BA guru SMA N Batang dan menyukai dunia tulis-menulis sejak masih kuliah. Selain pengajar di sekolah, dia juga sering jadi khotib.
SUGENG ISDIYANTO
YANG MULIA
Yang mulia para pemimpin
bolehkah aku meminta
sepatu yang tak berlobang
untuk ke sekolah esok hari
sudah seminggu bapak tak pulang
di tengah laut yang gamang
Wahai, yang mulia para pemimpin
membaca beritamu di koran
hendak kaubawa kemanakah kami
ketimpangan semakin nyata
keluh kesah dimana-mana
melihat tingkahmu di layar kaca
bolehkah aku bertanya
siapakah yang kau bela
rakyat kecil tetap menderita
Wahai, yang mulia para pemimpin
bila jabatan dan kedudukan yang diperebutkan
bila kepentingan yang diutamakan
bolehkah aku menggantungkan harapan
untuk sebuah masa depan yang nyaman
Yang mulia para pemimin
kirimkan sepatu yang tak berlobang
juga baju seragam
untuk ke sekolah esok hari
sudah seminggu bapak gamang
PEJUANG ITU ADALAH IBU
Pejuang itu adalah ibu
Yang melahirkan anak-anaknya
Dengan darah dan air mata
Pejuang itu adalah ibu
Yang kerut merut kulitnya
Tergambar nyata
Betapa luar biasa kesabarannya
Ejuang itu adalah ibu
Yang tetesan keringatnya
Tak mampu kugantikan
Dengan butiran-butiran mutiara sekalipun
Pejuang itu adalah ibu
Di tengah himpitan
Kau tegak tak tergoyahkan
Di antara kekurangan
Kau tenang dalam ketabahan
Di tengah duka derita
Doamu penuh keikhlasan
Pejuang itu adalah ibu
Raden Ajeng Kartini
Yang memerangi kebodohan
Menyejajarkan kaumnya
Cut Nyak Dien
Yang membuka mata
Terhadap arti pentingnya kemerdekaan
Pejuang itu adalah ibu-ibu tua menjajakan dagangannya
Di pinggir-pinggir jalan
Terkantuk-kantuk diterpa debu, panas dan hujan
Demi sesuap nasi anak-anaknya
Pejuang itu adalah ibu
Yang menggempur gunung
Mengalirkan kesuburan sampai ke pelosok-pelosok
Menghijaukan sawah, kebun, ladang,
dan membagi-bagikan kemakmuran
Pejuang itu adalah ibu
Yang mempermaklumkan aku berdiri di sini
SUGENG ISDIYANTO lahir di Solo, 2 Pebruari 1963. Berprofesi sebagai guru SMP 7 Pekalongan dan kini tinggal di Slamaran. Selain menulis puisi juga menulis naskah drama. Tahun 2000 juara II Lomba Menulis Naskah Drama/ Teater Anak Tingkat Jawa Tengah.
SUGITO HADISASTRO
SAJAK TEMBANG YUKALIP
Cericit parakeet dan lorakeet
mengeja lembahmu yang temaram
tersaput kabut musim gugur
dan wajah-wajah tanpa ekspresi
di ambang jendela
di serambi reruntuk peradaban
yang sirna tersapu angin gurun
di sela tembang yukalip
berdendang riang dalam selubung kegerahan
dahi bocah, tergores tajam boomerang
tangiskan pilu isakkan ngilu
Dan ladang kentang meradang
dan tengkorak hitam menyembul pelan
di bumi nenek moyang
yang terkoyak mata pedang mitos
luruh hati luruh mentari
cericit parakeet dan lorakeet
di sela tembang yukalip.
SAJAK MIMPI ANAK NEGERI
Sungaimu membelah hari asokmu
tak peduli siapa kau
berdiri memelas di pinggir gelegak ombak
dengan tenggorokan kering
seperi billabong di tengah gurun gersang
Sungaimu menghanyut mimpimu
Tak peduli siapa kau
Menggelesot meratapi mendung lembayung
di hamparan waktu
di mata sembab
dan hati lembab
Oh, angin lalu
berhentilah mengejar waktu
lihatlah mata bulat anak negri
bertelanjang rupa berkawan papa
memandang jauh titik-titik hampa
berbatas kaki langit
berujung belantara nestapa
Oh, angin lalu
berpusarlah menganyam hari
meredam gelora Pasifik
seperi selendang bidadari
melambai sayup pelangi
dan sepotong mimpi anak negri
singgah di selasar jelang agi.
KIDUNG ORANG-ORANG GERAH
Membuka lembar kisah dengan jari-jemari kaku
dan mata nanar mengeja
sepenggal rasa dalam
kubangan peradaban nista sejarah
meratapi jari-jemari roda gerobak
dan gemeratak gigi kuda-kuda
berkeringat darah
orang-orang gerah
berkalung seuntai tulang hitam
berkawan gagak berteman kapak
mengepak, mengapak
Membuka lembar kisah dengan nurani beku
dan mata silau pernik-pernik senja
Uluru membisu
bermandi cahaya ungu.
Drs. SUGITO HADISASTRO lahir di Batang, Aktif menulis di media cetak sejak masih mahasiswa IKIP
SUKISNO KAIDI
KEMBANG KALIPUCANG
Di wajahmu yang diam
Tersimpan aroma kembang setaman
Berjuta kembang tergores zaman
Nafasmu lembut membelai sukma
Dan ada pula yang layu
Kau terjaga di khatulistiwa
Bila pagi menjelang petang
Kau simpan rambutmu di balik
Kerudung
Bila senja menjelang malam
Kau panjatkan doa di balik kelambu
Sejak fajar menyingsing
Wangi tubuhmu mengusik kumbang
Ratap buaya menggoda iman
Sau-satu berguguran
Kembang kalipucang
Indah dipandang seribu satu
Merah, kuning, hijau parasmu
serupa pelangi di atas awan
kembang kalipucang
wajahmu selalu diam
aku memujamu dalam diam
Batang, 4 Mei 2007.
BURUH, PHK DAN PENGUSAHA
Aku datang bukan tanpa moral
Walau hanya selembar kertas
Aku mohon bukan tanpa bekal
Walau bukan seuntai kapas
Kugadaikan keringat
Kupertaruhkan harkat
Menyabung jiwa
Berbekal raga
Menembus bising seonggok besi
Walau tua tapi bermakna
Pagi, siang, malam tlah berganti
Meniti asa kabarkan dunia
Hari berganti,
Waktu berlalu,
Berahun-tahun merangkai bunga
Seberkas harapan menjelang senja
Tiba-tiba detak jantungku terhenti
Tersentak, koyak dihempas prahara
PHK,
Jerit tangis menembus cakrawala
menggelepar, meronta,
Menerjang badai berselimut lava
Menyala dengan sejuta awan
Haru biru hiasi dunia
Wahai burung-burung bangkai
Dimanakah nuranimu
Bilakah tak ada waktu lagi
Bercerita tenang harkat dan martabat
Selamat pagi tuan-tuan
Duniamu adalah keringatku
Nafasmu adalah karyaku
Detak jantungmu seirama jerit tangisku
Atau,
Pandanglah bintang-bintang
Di
Bila kau tatap rembulan
Jemariku tak mampu lagi bergerak
Rapuh ditelan waktu
Asa hilang bergayut di dada
Batang, 21 Mei 2004.
BOCAHKU
Kau datang dari selatan
Tinggalkan bocah kecil di sebuah desa
Berbekal sekeping hati yang luka
Karena pujaan hati tlah berpaling
Kini engkau tlah ternoda
Bergelimang dosa di lembah hina
Kulihat tawamu penuh dusta
Dalam pelukan para durjana
Bila saatnya tlah tiba
Kau coba melepas kerinduan
Buah hati dalam pelukan
Bening mengembang, menatap masa depan
Aku tahu hatimu tlah beku
Maka ketika kutawarkan cinta
Berbinar bola mata merona
Terkeju aku dibuai
Bocahku,
Maafkan bila aku dusta
Aku hanya ingin engkau pulang
Kembali menuai yang tersisa
Lembaran hitam hanya cerita
Permata hati menunggu di
Batang, 21 Mei 2004.
BALADA PEREMPUAN JALAN
Bibir bergincu merah merekah
Menganga, menggoda di sudut
Bila mata menari, nafas mendesah,
Keringat membasuh tubuh berlumur dosa
Kadang ada yang masih perawan
Berkubang lumpur ditelan jaman
Tak jarang korban lelaki durjana
Menjual diri untuk hidup keluarga
Hiruk pikuk nada membaur aroma
Menggeliat seirama tarian iblis
Tak terasa fajar mulai menjelang
Lonceng kematian datang tiba-tiba
Pilu tak kuasa air mata mengalir
Sekuntum bunga layu tak terurus
Dia pulang bergaun hitam
Menyambut matahari di balik awan
Batang, 28 Aril 2004.
SUKISNO KAIDI lahir di Batang, 14 Maret 1963, pendidikan SLTA. Pengalaman sebagai karyawan sebuah pabrik menjadi pelajaran yang amat berharga baginya sebagai pengasah batin. Sebagian karya puisinya merupakan refleksi dari pemberontakan jiwanya terhadap kenyataan hidup yang ditemui di sekelilingnya.
TUTI RUSWATI
BILA
Bila senja memungut kembali malam yang tergadai pada hari esok?
Tenggelamkan hati meluruhkan sekeping gunung di palungku.
Bila kembali merajuk pada mimpi tentang nirwana, bukan karena bukit gersang oleh angin sekadar manifestasi illusi dalam bayang pagi.
Ketulusan terkadang berharga emas
Segala kicau berceracau memenuhi langi ku.
Entah anugerah atau peringatan. Ataukah hanya menginginkan keruntuhan sejarahku. Hanya bukit terlalu egois unuk terentak
Nyanyian-nyanyian kecil di dahan sycamore
Aku seperi langit tanpa tepi. Bila sampai engkau mengarunginya?
Terasa tak mungkin hasrat hatimu menjangkaui seluruh keindahan
rahasiaku
Di kedalaman mimpi dan penghayatan akan hidupku
Dan bukan karena keangkuhan
Aku terlahir dengan menyimpan segala kemerduan kicau mereka,
Syair yang melangutkan juga badai yang kadang mengajak berteman
Yang ternyata juga telah kumiliki
Dan bila jubah malam tersibak kelembutan cahaya
Kapan pun datangilah. Bila akan kuberi lagu bidadari untukmu,
bila kuberi damai hatimu
Tanpa rayuan dunia dan kicauan yang hangat menusuk
Lalu matahari pun membukakan matamu
Hatimu dan bibirmu, penuh cinta dan keagungan
membawakannya pada keindahan hatiku.
sungguh, kuingin tahu sumpahmu.
Tersenyumlah! Kau seorang pemenang.
Kelak bila hujan menutup harimu menuju ujung malam
Ingatlah akan sekeping pualam
Yang pernah kutitipkan penuh rahasia di senyummu
di matamu ada cahaya
Aku tahu kau akan pergi. Ataukah aku sebaliknya?
Mungkin masih ada tersisa waktu
Tanpa kata tanpa bahasa sekaligus luka
Hanya senyum kita di balik air terjun
Yang membutakan sinar matamu dan mataku
Bilakah saat itu tiba?
Melaka, 16082005, 05.00
: my bad key
Senja kencana cantik membalutnya
Kulihat ia duduk sendirian di sudut bar menunggu Jack Daniel’s
gelas anggurnya amat bening memantulkan cahaya biru ke mata
yang belum memerah. Ia sama sekali tak berkedip
Kurasa ia bukan penderita kiposis. Punggungnya menunduk ke meja
bertender yang mengkilap. Entah apa yang ada di balik cat pelitur
cokelat itu. Asyik sekali.
Tentu saja aku tak mau menegurnya. Aku kenal dia kemarin bersama
terbang ke
menurutnya hanya ada di angkasa terutama langit yang biru gelap
Entah masih cantik tanpa pohon palm. Oh, tidak di petak bunga tadi
Petunia genit sekali. Astaga! Apakah semalam lemari enamel putih itu
Kosong?
Anjingnya sangat menyukai pagi
Matahari yang terbit di seberang kincir mengusir orion pelan-pelan
Dengan senyum merekah yang biasanya akan jadi garang. Sebentar lagi
Aku di sini:
Saat itu
seandainya aku di
dia tergeletak berdarah matanya tertutup kelopak cekung menyisakan
Titik-titik kasar di rahang malam. Itu sisa perjalanannya
Langit terbuka. Dan gua kayu terang benderang
Langkah-langkah lembut menginjak kedamaian di bawah putaran kincir
Malamnya terbuka satu-satu pakaiannya dilucuti, wah
Yakin ia tak peduli tak ada bedanya
Yang melakukan pelacur atau bidadari
Si cantik menciumi seluruh tubuhnya dengan jari lentik yang pernah
Diciumnya. Lukanya menjerit tapi ia merasa (yang ia rasakan hanya)
Libido memuncaki menara hidup. Ujung-ujungnya sarafnya menggelepar
Ia menggenggam kenikmatan sepenuhnya. Matanya tertutup!
Daun-daun kapas memerah disembur api
batang-batang ilalang
Astaga, kalau begini bisa-bisa aku jatuh cinta
: kata Zeus melihat calon ibu Herakles!)
Padahal sebelumnya.
Tak terbayang tentang gunung darah tentang pesta luka
perang yang berakhir di mesin pembuat kopi
tentang pesawat yang menjadi saksi pernikahan pantai dan hutan dan
gunung
keraguan atas nama petualang
membuat akar-akar misteri di balik dua cinta
menelan segala. Apa yang disebut pencarian
Si cantik membawakan pagi mungkin masih terselip bintang di tangannya
Entah dimana luka
Kudengar ia tersenyum ia tak ingin sekali pergi ke
TUTI RUSWATI lahir di Pekalongan, 19 Agustus 1981 dan kini menetap di Batang. Sejumlah puisinya pernah dimuat di Tabloid Tren. Pernah mengembara di
VIKKA DIAN PRATIWI
HEMPAS
Dalam kaca sang embun,
Yang menguap di batang senja,
Bercengkrama bersama batin-batin yang hampa,
Menerawang dalam sukma yang kian alpa,
Jiwaku bergemuruh,
Ragaku bergetar,
Mencari arti kehakikian,
Adakah yang salah di tanahku berpijak?
Harusnya kuselami sujud-sujudnya,
Harusnya kurindu rukuk-rukuknya,
Tapi ah,….
Bukan karna Alzhaemer aku,
Bukan karna Amnesia aku,
Kuhempas genderang perang,
Tandai awal yang ’kurasa akan panjang,
Pecah!! Kubiar semua papa….
Batang, Juni 2007.
SENANDUNG JALANAN
Seorang bocah mengais sampah
Kulit legamnya menantang surya,
Polesi jalanan dengan gincu kaum pinggiran,
memelas dari raganya yang kering kerontang
Oh ya, kami bukan sampah!!
Sejati, kami rindu jilati bangku sekolah,
Kami lupa sudah ilmu logaritma,
Kami rindu huruf-huruf abjad,
Makan siang kami mungkin tak senikmat pizza dinner tuan,
Tidur malam kami tak senyenyak kasur pegas tuan nan nyaman,
Angka-angka yang berdiri mesra dengan rupiahlah yang ada di kepala,
Atau bau nasi kucing yang selalu dirindukan lambung,
Oh ya, kami bukan sampah
Yang tuan seenak menyeret kami,
Beri kami sesuap impian dan harapan
Bukan mimpi siang!!
Medio bayang-bayang Tugu Muda, 2007.
SRRRT…
Srrrt… begitu nyanyian gubukku,
Bergoyang menyapa badai mimpi,
Srrrt… begitu kidung gubukku,
tandai jatuhnya harapanku,
anakku menangis,
kudulang dengan dongeng kehidupan,
anakku pun tertawa,
kunina bobo dengan lagu-lagu masa depan,
kutahu engkau bukan anak ningrat,
tapi jangan biarkan hatiku ikut melarat,
dalam jiwaku ada kehidupan,
yang harus sinari jagad,
sinari jasad
Bayang-bayang
BAIT GELANDANGAN
Bocah kecil, lahir dari rahim kenestapaan,
Tangan kecilnya meliuk raih keadilan yang kian jauh dari jangkauan,
Kaki kecilnya melangkah raih kesempatan nan nisbi,
Beri aku tempat, hai dunia!
Gapai angan diantara sampah kefanaan,
Hai Tuan yang bergelimang berlian,
Berikan senyuman Rupiah di saku kami yang lapar,
Agar perut kami basah nasi,
Agar usus kami basah air,
Hai Tuan yang mengaku wakil kami,
Hilang sudah jerit kami,
Kalah dengan suara Baritonmu yang penuhi keinginan pribadi,
Lupa nama kami?
Wajar Tuan lupa nama kami…
Toh kita memang tak mengenal kami,
Tapi kami mengenal Tuan,
Kami hanya titipkan sebuah harapan,
Beri kami sedikit tempat di kepala Tuan…
Johar Market, 2007.
VIKKA DIAN PRATIWI biasa dipanggil Whie. Lahir di Batang, 5 Mei 1984. Ia lebih suka menumpahkan kegundahan dan kekesalan hatinya lewat tulisan, baik cerpen maupun puisi. Cerpennya pernah dimuat di Tabloid Remaja Tren terbitan
WASKITHO AS
SABIT
Bertaruh dalam sukma hitam bercahaya
Histeris perlahan menyebar makna
Berjalan pelan dalam khusyu memandang
Berlari kencang saat mata tanpa sadar
Terbitlah dalam keterbatasan
Untuk apa dan dari mana
Saat tiada guna raga dan sukma
TITIK KOMA
Titik
Koma
Titik koma
Saatnya kita memasuki makna
Mungkin titik sudah sirna
Kini, mungkin koma sudah di samping kita
Esok, tentu dan mungkin titik koma bersua
Seraya berkata: Aku sudah titik, titik, ataukah titik koma
WASKITHO AS lahir di Batang, 3 Maret 1971. Mulai tertarik dunia tulis-menulis sejak SMP kelas 3, tahun 1984. Saat masih pelajar SMEA (kini SMK Negeri Batang) dipercaya menjadi pengurus majalah Bina Siswa. Berguru tentang dunia tulis-menulis dengan Sugito Hadisastro. Tulisan pertamanya dimuat di Majalah MOP terbitan Semarang tahun 1988 namun honornya baru diambil 13 tahun kemudian, yakni pada Oktober 2001. Naskah-naskahnya berupa cerpen, artikel dan feature dimuat di berbagai media cetak antara lain Suara Merdeka, Cempaka,
WIDODO BW
PEREMPUAN
benarkah engkau cantik, manis, harum, indah seperti bunga?
benarkah engkau empuk mendul-mendul seperti tilam?
seperti kasur, seperti bandulan?
benarkah engkau perasa, halus lembut seperti sutera?
benarkah benarkah benarkah?
benarkah itu?
ataukah hanya illusiku saja
ha ha ha, ha ha ha
benarkah itu, benarkah iu?
huhu hu, huhu hu…
TIKUS BUSUK
itu lebih santun dan alami
meski semua hidung ditutup rapat
dan mengingkari kebusukannya sendiri
itu lebih wajar dan nyata
dari keharuman yang direkayasa
mereka bilang suci
mereka bilang terhormat
mereka bilang bersih
mereka bilang bermartabat
mereka bilang merakyat
meski ternyata memeras rakyat
TOLOL
semua jadi tak bisa apa-apa
jika memang tak ada apa-apanya
semua jadi tolol
jika memang tak ada apa-apanya
semua jadi tak mengerti
jika memang tak ada apa-apanya
tapi semua jadi pintar
jika memang ada apa-apanya
CEMBURU
kau jadikan aku membara
seperti ikan yang menggelepar oleh api
kau jadikan aku gelap
seperti siang tertutup awan
kau jadikan aku sunyi
seperti mayat dalam liang lahat
WIDODO BW lahir di Batang, 30 Maret 1968 bertempat tinggal di Desa Pecalungan Subah Batang. Mengajar di SD Negeri Mojotengah, Reban.
YOKO MASKHA
WES WES WES
WU KISU KISU
(Puisi bagi murid-muridku)
Anak-anakku
lihat dan amatilah alam semsta di sekelilingmu
mengapa matahari terbit dan tenggelam
terbit lagi dan tenggelam lagi
dan itu selalu terjadi
tidak pernah bosan dan
tidak pernah ada keinginan ‘tuk berhenti
mengapa harus ada siang dan harus ada malam
mengapa pula harus ada hidup dan mati
ada awal dan ada akhir
ada bahagia dan ada sedih
ada laki-laki dan ada perempuan
ada yang jahat dan ada yang hero
renungkan dan ambillah pelajaran
dari semua itu
dan jika engkau telah berhasil melakukan itu
satu tahap dari proses kehiduan
sudah engkau menangkan
tinggal satu langkah lagi engkau taklukkan
yakni,
temukan jati diri
namun, itu mudah diucapkan
tetapi sulit dibuktikan
mudah dipahami
tetapi sulit dinyatakan
Oleh karena itu
Bapak hanya berpesan
hati-hatilah dalam setiap langkah
yang kau ayunkan
pandai-pandailah menyerap setiap
yang ada di balik pernyataan
sebab,
hidup ini tidaklah hanya hitam dan putih
ada kalanya abu-abu, merah, biru, hijau,
kuning, coklat
bahkan abu-abu pun bisa berbeda
hanya karena ketebalan warnanya
tidak sama
maka,
tatap hidup dan kehidupan
dengan seluruh indra
dengan seluruh denyut nadi dan nafas yang ada
hong wilaheng, sekaring bawono langgeng
joyo-joyo wijayanti lebur dening
pangastuti
Wahai
jin, setan, demit, banaspati dan segala
prewangan yang ada
aku himbau kepada kalian
janganlah ganggu anak-anakku
dengan segala pengaruh brengsekmu
Misal: suka membolos, kalau upacara tidak konsentrasi, keinginan untuk merokok, diajar malah ribut sendiri, baju tidak dimasukkan (sehingga bagi yang pendek dan gemuk, dari aas seperti krombong, dari samping bagaikan semar, dan dari belakang bagaikan mentok berjalan).
Anak-anakku,
Memandang kalian, bagaikan menatap horison
biru penuh harapan
berderet jalan panjang ada di depanmu
segudang tantangan dan selaksa persoalan
menunggu solusi dan pemecahan
oleh karena itu,
wahai, anak-anakku
jangan terlena oleh bius kesenangan sesaat
tetaplah maju dengan penuh perhitungan
jangan ragu dan jangan pernah gamang
mengambil keputusan
satu hal yang harus kalian camkan
dunia berputar
zaman berubah ke depan
dan tak pernah ada kesempatan untuk
yang kedua
maka,
gung lewang lewung
tidak ada yang beruntung
gung lewang lewung
tidak bakal presasi melambung
bla bla bla
jika tidak pernah berusaha
Bla bla bla
dengan sekuat tenaga dan daya
maka,
belajar adalah syaratnya
ketekunan adalah modalnya
dan doa merupakan pendorongnya
Anak-anakku,
lihatlah matahari telah menampakkan sinarnya
itu berarti:
sudah bukan lagi saat kita berleha-leha
beleda-lede
sekaranglah kita menancapkan
bendera perjuangan
lambang tekad kita
mengejar ketertinggalan
jikalau tidak ingin
pada suatu saat kita akan terasing
di tengah dunia kita sendiri
karna gagal menemukan posisi yang tepat
untuk berpijak
Anak-anakku
hanya itulah yang bisa aku sampaikan
kepada kalian
sebuah puisi sarat pengharapan
seribu maaf atas kekurangan
aku mohonkan
selamat berjuang
selamat mewujudkan berjuta impian
salam takzim
dari salah satu gurumu
HARYOKO MASKHA, Drs Kini menjabat sebagai Kepala SMA Negeri Bandar. Puisi-puisinya dimuat di sejumlah media cetak di tahun 1980-an. Sering diundang menjadi juri lomba baca puisi di berbagai tempat.