Rabu, 04 Agustus 2010

Cerita dari Sahabat Facebookku Mega Vristian di Hongkong

Di Mong Kok Derita itu Bermula
Share
Di Mong Kok Derita itu Bermula

Perempuan itu tiba-tiba terdiam. Tapi aku berharap dia masih mau meneruskan ceritanya. Berkali-kali jemarinya merapikan helai-helai rambut yang menyembul dari jilbab hitamnya. Mukanya pucat. Mungkin karena kurang tidur.

Kuletakkan kembali alat perekam di hadapannya. Sekilas dia memandangnya. Duka membayang di wajahnya. Bibir keringnya kemudian bergerak, melanjutkan kisahnya.

"Aku sempat berpikir dia bukan manusia. Ia tidak punya hati. Masak tega menjualku!" ucapnya geram. Tangannya meninju bangku panjang yang kami duduki. Kupeluk bahunya untuk sekadar meredam emosinya. Air matanya menderas. Dia terisak pelan, nyaris tak terdengar.

"Lelaki itu tiba-tiba menindih dan memperkosaku. Aku berusaha memberontak dan melawan. Tapi dia begitu kuat. Semakin aku berontak, dia kian bergairah. Dia itu binatang!"

Kupeluk tubuhnya. Aku tak tega melihatnya begitu sedih.

"Istirahatlah!" kataku. "Tak usah bercerita lagi. Besok saja. Jika pikiranmu sudah tenang, kita lanjutkan lagi," ujarku.

"Dia itu gila!" lanjutnya. "Gila! Dia bukan manusia! Tapi iblis!"

Pecah sudah isaknya menjadi tangis. Suara tangis itu menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di dekat kami. Tapi dia tak peduli.

Untuk beberapa saat kubiarkan tangisnya keluar. Satu bungkus tisu segera berpindah ke tempat sampah setelah berubah menjadi kepalan-kepalan bola kertas yang meresap air matanya.

***
Aku mengenal perempuan itu saat membeli gelang giok mainan di Jade Market, Hong Kong. Saat itu dia duduk sendirian, menangis di sebuah bangku taman di depan Temple Jordan. Tempat itu menghadap gedung Henry G Leung Yau Ma Tei Community Center. Merasa sesama dari Indonesia, aku beranikan diri menyapanya. Dari situ aku mulai mengetahui penderitaannya.

Panggil saja Suniarti, bukan nama sesungguhnya. Ia berumur 28 tahun. Berasal dari Grobogan, Jawa Tengah. Seperti cerita kebanyakan perempuan dari tanah air, Suniarti terpaksa merantau ke Hong Kong karena tekanan ekonomi. Suaminya yang buruh tani tak mampu menopang seluruh kebutuhan keluarga. Apalagi si Upik, permata hatinya, sudah waktunya masuk sekolah. Sudah tentu, sebagai orang tua yang baik Suniarti harus menyiapkan tabungan demi kelangsungan sekolah Upik.

Pergilah Suniarti ke Hong Kong. Di Hong Kong ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sehari-hari Suniarti mengasuh lima anak majikan yang masih kecil dan mengurus empat orang dewasa. Baru empat bulan bekerja, dia terpaksa melarikan diri dari rumah majikannya. Dia tak tahan perlakuan kasar kekek majikannya. Si kakek ringan tangan, gemar menganiaya Suniarti. Setiap kali salah satu dari empat anak yang diasuh Suniati ribut atau menangis, kakek itu langsung menempelengnya.

Suniarti berusaha menjelaskan kepada kakek itu bahwa jika cucunya menangis, bukan karena dimarahi atau dipukulnya. Tapi sia-sia saja. Sang kakek tak pernah mempercayainya. Dia malah marah dan kemudian memukulnya.

Suniarti berusaha bersabar, berharap bisa menyelesaikan kontraknya hingga dua tahun. Tapi suatu hari, si kakek membabi buta dan menampari Suniarti. Perempuan ini pun tak tahan dan akhirnya nekat meninggalkan rumah majikan.

Selama kasus penganiayaannya ditangani Departemen Perburuhan Hong Kong, Suniarti tinggal di shelter buruh migran Indonesia di Jordan. Karena banyaknya kasus yang ditangani oleh Departemen Perburuhan, kasus Suniarti harus antre, sehingga punya waktu jalan-jalan menikmati keindahan Hong Kong. Maklum, selama empat bulan bekerja dia tak sehari pun mendapat kesempatan libur. Dengan senang hati dia menerima ajakan dua rekan penghuni shelter untuk jalan-jalan ke Kowloon Park.

Keasyikan menikmati keindahan Kowloon Park membuatnya terpisah dari dua rekannya. Sialnya dua kawan itu tak mempunyai telepon genggam. Suniarti pun tak bisa menghubungi mereka. Saat tersesat, dia bertemu seorang perempuan asal Indonesia. Perempuan berambut lurus panjang dengan dandanan menor dan "gaul" itu tampak ramah dan baik. Setelah berbincang sebentar, perempuan itu membelikannya sebungkus nasi untuk makan siang, kemudian mengajak Suniarti main ke rumah kontrakannya. Si Cantik itu bercerita bahwa dia memiliki building house yang disewakan saat dia berlibur. Suniarti menyebut si Cantik karena tak pernah tahu nama perempuan itu.

"Main yuk, ke tempat kontrakanku," kata si Cantik. "Bisa istirahat di sana, daripada di sini digigitin nyamuk."

Dengan gembira Suniarti menerima ajakan itu. Mereka menuju rumah itu naik taksi. Di sebuah rumah besar bercat putih dia diajak masuk ke sebuah kamar yang serba putih, termasuk seprei dan selimutnya.

Si Cantik menyuguhinya minuman kaleng yang tutupnya sudah dibuka. Perempuan yang baru dikenal itu kemudian pamit membeli makanan ringan. Suniarti disuruh beristirahat di kamar serba putih itu. Suniarti segera berbaring di ranjang karena tiba-tiba saja kepalanya terasa berat. Dia teramat pusing dan mengantuk. Belakangan baru disadarinya minuman kaleng itu telah dicampur obat tidur.

Suniarti terlelap. Ia tidak ingat apa-apa. Tiba-tiba nafasnya sesak, tubuhnya seperti tertindih barang berat. Dengan berat Suniarti berusaha membuka kelopak matanya. Betapa kaget dia. Seorang lelaki besar keturunan Pakistan menindihnya. Suniarti tak tahu dari mana datangnya lelaki itu dan bagaimana masuk ke kamar itu.

Sekuat tenaga Suniarti mendorong lelaki itu dari atas tubuhnya. Tapi sia-sia saja. Cakaran dan amarah Suniarti malah melecut gejolak si laki-laki misterius itu.

Lelaki itu rupanya tak puas mengoyak tubuh Suniarti di atas ranjang. Ia menyeret Suniarti ke kamar mandi. Suniarti terus berontak hingga kepalanya berulang kali terbentur dinding kamar mandi. Laki-laki itu tak peduli. Dengan brutal lelaki itu menelanjangi Suniarti, kemudian menyemprotnya dengan shower, lalu menyetubuhinya. Ia lakukan perbuatan itu dua kali.

Setelah puas, lelaki itu mandi dan berdandan rapi. Sebelum ngacir, ia mengambil tas dan menguras seluruh uang di dompet Suniarti yang hanya HK$ 300. Lelaki itu juga menyikat telepon genggam Suniarti.

Si Cantik yang pamit untuk membeli makanan ringan sebentar tak juga kembali hingga sore. Suniarti tidak bisa berjalan. Vaginanya terasa sangat perih. Ia keluar dari tempat itu dengan merangkak. Di kemudian hari Suniarti baru tahu tempat itu ternyata hotel kelas murah di kawasan Mong Kok.

Tertatih-tatih dia berjalan meninggalkan hotel celaka itu. Tak ada seorang pun yang menghiraukannya. Sampai di tepi jalan raya, Suniarti dihampiri seorang buruh migran asal Indonesia yang melihat darah mengalir dari selangkangannya. Dia segera ditolong dan diberi uang saku untuk pulang ke shelter.

Suniarti menutup diri. Dia malu dan berusaha menyembunyikan kemalangan yang menimpanya. Dia tak menceritakan kejadian itu kepada sahabat-sahabatnya di shelter. Dia cuma menanyakan kenapa dua kawan yang mengajaknya ke Kowloon Park tega meninggalkan begitu saja.

Suniarti tak kuasa menahan derita, lahir batin. Dua hari kemudian dia menangis histeris sepanjang hari. Vaginanya terasa gatal bukan main. Dari vaginanya keluar lendir berbau tak sedap. Perutnya sakit dan sering kejang-kejang.

Lelaki Pakistan itu telah menularkan penyakit kelamin. Menurut dokter yang memeriksanya, vagina perempuan malang ini terserang kutil rahim (genital warts). Untuk mengobati penyakit itu butuh waktu lama. Jika tidak segera ditangani, kutil itu bisa memenuhi liang vagina. Seminggu sekali Suniarti harus menjalani pengobatan di Female Social Hygiene Clinic, Yau Ma Tei Jockey Club General Out Patient Clinic. Pengobatan itu atas biaya uang kas shelter.

Celakanya, para penghuni shelter mulai menjauhi Suniarti. Mereka takut tertular penyakit mengerikan itu. Dengan berat akhirnya Suniarti menceritakan pemerkosaan itu. Para penghuni shelter kaget dan kemudian melapor ke polisi.

Selama menunggu penyelesaian kasusnya, Suiniarti bergabung dengan Indonesian Migrant Workers Union. Namun, polisi Hong Kong tidak menemukan pemerkosa dan si Cantik yang "menjual" Suniarti. Juga tak menemukan bukti penganiayaan oleh orang tua bekas majikannya.

Suniarti putus asa dan menutup kasusnya. Ia tak betah lagi tinggal di Hong Kong. Kota harapan itu telah menghadirkan derita tak terperi.

Suniarti memutuskan pulang ke tanah air. Dia mendapat tiket, satu bulan gaji, dan uang libur dari bekas majikannya. Namun dia diwajibkan mengembalikan satu bulan gaji yang sudah diterima kepada kemajikannya, karena dia kabur. Setelah dihitung, Suniarti cuma mengantongi sisa HK$ 150. Padahal, untuk mendapatkan uang itu dia harus menunggu sidang kasus ketenagakerjaan selama setengah tahun.

"Saya pasrah jika nanti suami menceraikan saya," katanya pilu.

Wajahnya menyimpan beban dan kesedihan yang dalam. Dengan pandangan kosong, Suniarti menuju bandara untuk meninggalkan kota laknat itu. Ia pulang hanya membawa HK$ 150 dan derita tak terkira.

--------
kisah nyata dari kumpulan kisah shelter yang kutulis dalam buku harianku.
- Mega Vristian, pembantu rumah tangga di Hong Kong.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger

BUKU TAMU

ARSIP BLOG

PROFILKU

Foto saya
Pekalongan, Jawa tengah, Indonesia

Yang mengunjungi Blog ini

CHATTING


ShoutMix chat widget

JAM BERAPA ?

KELUARGAKU

KELUARGAKU
Wisuda Statistik Terapan D3 MIPA UNNES

gubuk

gubuk
di depan rumah

wisuda UNNES

wisuda UNNES
Fakulta s MIPA Jurs Pendidikan Matematika

KAMUS INGGRIS-IINDONESIA

Bagaima isi puisiku ?

PENGIKUT

KOMENTAR